ARTIKEL
PERJUANGAN
SEORANG MUSLIM KOMUNIS
PERISTIWA
G30S sudah lebih 35 tahun berlalu. Banyak kesaksian ditulis dan dibukukan. Ada
yang dengan bangga menceritakan bahwa di masa-masa lalu telah ikut berjuang
menegakkan Pancasila dengan "menumpas habis" orang-orang PKI.
Semakin
banyak orang PKI yang mereka bunuh, semakin hebat rasa perjuangan mereka.
Di masyarakat telah tercipta keyakinan bahwa orang PKI pastilah jahat, biadab, dan pembunuh berdarah dingin. Pendek kata orang-orang PKI "adalah orang-orang yang tak layak diberi hak hidup di Indonesia."
Di masyarakat telah tercipta keyakinan bahwa orang PKI pastilah jahat, biadab, dan pembunuh berdarah dingin. Pendek kata orang-orang PKI "adalah orang-orang yang tak layak diberi hak hidup di Indonesia."
Ekornya
adalah, setiap gagasan yang bertentangan dengan keyakinan demikian tadi, atau
sekadar mempertanyakan keabsahan pandangan apriori dalam masyarakat tersebut,
segera dianggap sebagai pembela "kaum ateis"; bahkan bisa dimasukkan
juga sebagai orang yang perlu dicurigai sebagai "agen komunis".
Kini sudah
tiba waktunya untuk berfikir lebih jernih, dewasa, dan bertanggung jawab.
Sepantasnya sekarang mempertanyakan banyak hal berkaitan dengan sejarah kelam
masa lalu itu; apakah benar semua orang PKI adalah ateis dan jahat? Apakah
benar semua orang PKI bertanggung jawab dan terlibat dalam G30S?
Dalam
konteks pencarian jawaban semua itu, buku Pergulatan Muslim Komunis,
Otobiografi Hasan Raid menjadi penting artinya. Otobiografi ini merupakan
catatan sejarah yang mencoba memberikan gambaran lain tentang sosok orang PKI.
Diceriterakan
bahwa tak semua orang PKI adalah ateis, dan tak semua orang PKI terlibat G30S.
Banyak sisi lain dari orang PKI, yang sifatnya lebih manusiawi dan tak muncul
dalam banyak buku, dikisahkan dalam otobiografi Hasan Raid.
Kita mungkin
tidak percaya bahwa ada orang Islam masuk PKI. Tetapi, itulah yang ditegaskan
dalam buku tersebut. Justru berangkat dari keyakinan keislamannya, dan secara
jelas merujuk pada Al Quran, ada orang yang sengaja menjadi komunis. Orang itu
antara lain adalah Hasan Raid.
Dia tahu
bahwa ada partai Islam, seperti Masyumi, tetapi ia menolak untuk masuk ke
dalamnya, karena beranggapan bahwa partai tersebut kurang bisa mengamalkan ajaran
Islam untuk memihak kaum miskin. PKI menurut Hasan, lebih pas untuk mengamalkan
ajaran Islam, khususnya dalam menegakkan keadilan di Bumi Nusantara.
Begitulah
pergulatan batin seorang dalam mengaktualisasi diri. Hasan Raid, seorang Muslim
yang komunis, yang karena keyakinan keislaman dan pilihan garis perjuangannya
kemudian berdarah-darah menjalani hidup bersama sanak keluarganya.
***
HASAN Raid
lahir dalam keluarga Islam (ayah Raid Gelar Bagindo Marah dan ibu Halimah)
tanggal 1 Maret 1923 di Silungkang, Sumatera Barat. Fasih membaca dan mengutip
ayat Al Quran, karena sejak kecil ia bermain, tidur, dan mengaji di surau.
Pada usia 10 tahun Hasan sudah tamat membaca Al Quran. Hingga dewasa, Hasan menghabiskan waktu untuk berdagang. Tetapi, situasi kemudian mengubahnya menjadi seorang aktivis partai, yakni ketika situasi politik tidak menentu, sementara perdagangan lesu.
Pada usia 10 tahun Hasan sudah tamat membaca Al Quran. Hingga dewasa, Hasan menghabiskan waktu untuk berdagang. Tetapi, situasi kemudian mengubahnya menjadi seorang aktivis partai, yakni ketika situasi politik tidak menentu, sementara perdagangan lesu.
Ketika mulai
berniat masuk partai, ia tak ragu memutuskan memilih PKI. "Aku tak memilih
masuk partai Islam, seperti Masyumi karena partai tersebut sebagai organisasi
didirikan di zaman Jepang dan menjadi partai politik sesudah Maklumat November
1945 dari Wapres Mohammad Hatta. Banyak sedikitnya tentu ada bau
Jepangnya," tulisnya dalam otobiografi tersebut. (hlm 66)
Setelah
terdaftar sebagai anggota PKI, Hasan mengikuti kursus politik yang diberikan
oleh pengurus partai. Materi yang diterima antara lain filsafat materialisme
historis dan dialektika, juga tentang hukum tata negara. Buku yang ia baca
antara lain tulisan Bung Karno: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.
Semua yang
diterima dari kursus dan buku yang dibaca, manambah keyakinannya bahwa
program-program PKI memang mengamalkan ajaran Al Quran. Ayat yang sering
dirujuk Hasan adalah Surat Al-An'am 145 yang tegas menyatakan; haram hukumnya
memakan darah yang mengalir.
Dalam dialognya dengan H Datuk Batuah, salah seorang Muslim tokoh PKI, pada tahun 1946, Hasan juga dengan tegas mengatakan bahwa telah 14 abad lamanya kaum tertindas dan miskin masih tetap tertindas dan miskin. Ia kemukakan, mereka itu belum juga jadi pemimpin (seperti yang dijanjikan dalam Surat Al-Qashash 5-6) karena mereka tidak menjalankan petunjuk Tuhan dan Surat Ar-Ra'du ayat 11.
Dalam dialognya dengan H Datuk Batuah, salah seorang Muslim tokoh PKI, pada tahun 1946, Hasan juga dengan tegas mengatakan bahwa telah 14 abad lamanya kaum tertindas dan miskin masih tetap tertindas dan miskin. Ia kemukakan, mereka itu belum juga jadi pemimpin (seperti yang dijanjikan dalam Surat Al-Qashash 5-6) karena mereka tidak menjalankan petunjuk Tuhan dan Surat Ar-Ra'du ayat 11.
"Hampir
tidak terdengar olehku ulama atau yang mengaku cendekiawan Islam, yang
menyadarkan kaum mustadh'afin untuk mengorganisasikan diri guna melemparkan
belenggu penindasan dan pengisapan yang dilekatkan kaum mustakbarin,"
tegas Hasan.
"Ya, di
sinilah," kata H Datuk Batuah, "kita sebagai orang Islam yang berada
dalam PKI mengibarkan tinggi-tinggi bendera pembebasan kaum tertindas dari
Islam yang ditinggalkan oleh ulama-ulama dan cendekiawan Islam. Dengan PKI kita
amalkan ajaran Islam tentang pembebasan umat." (hlm 78-79).
***
DALAM
kariernya, Hasan pernah diangat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP), yakni di tahun 1946, ketika menggantikan anggota KNIP dari PKI yang
meninggal, Winanta. Hasan pernah menjadi Sekretaris Umum Pengurus Besar Serikat
Buruh Perkebunan (PB SBP); juga pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Kota
Sumatera (DPKS). Dalam sebuah pemilihan umum daerah untuk memilih anggota DPRD
tahun 1957, Hasan terpilih sebagai anggota DPRD (tahun 1959 DPRD-GR) Jakarta
Raya.
Tahun 1962,
Hasan dikirim ke Moskow untuk belajar di Institut Ilmu Sosial Moskow selama
tujuh bulan. Pulang dari Soviet, ia mengajar di Akademi Ilmu Sosial Aliarcham
(AISA) tentang Soal-soal Pokok Revolusi Indonesia. Hasan juga memberikan kuliah
politik pada Akademi Politik Buchtarudin dan di Universitas Rakyat (Unra).
Oleh karena
lebih terpanggil pada dunia pendidikan, Hasan mundur dari keanggotaan DPRD-GR
Jakarta Raya. Mulai tanggal 29 September 1965, oleh AISA ia ditugaskan untuk
menjadi anggota Tim Penguji Pendidikan Politik Kotrar (Komando Tertinggi
Retooling Aparatur Revolusi) mengenai mata pelajaran Manifesto Politik yang
berlangsung di Senayan.
Di tengah
kesibukan menjalankan tugas di Kotrar itulah meletus G30S. Hari-hari setelah
peristiwa itu menjadi tragis bagi kehidupan Hasan, karena sejak itulah
kebebasannya hilang. Ia (beserta istri dan anaknya) dipenjara tanpa pernah
diadili sehingga tidak tahu apa kesalahannya.
Selama 13
tahun ia berpindah dari penjara ke penjara, dari Jakarta hingga Nusa Kambangan.
Hasan sendiri tegas menilai, G30S bukanlah pemberontakan PKI.
Kalau G30S
pemberontakan PKI, itu berarti pemberontakan kepada pemerintahan Presiden
Soekarno. Satu hal yang tidak masuk akal. Karena Soekarno menjamin hak hadirnya
PKI dan berpegangan kepada prinsip persatuan berbasiskan Nasakom.
Menurut
Hasan, peristiwa G30S merupakan jalan pembuka bagi Soeharto untuk mengangkat
dirinya sendiri menjadi pimpinan TNI AD tanpa sepengetahuan-apalagi
sepersetujuan-Presiden/Pangti ABRI Soekarno, sebagai langkah pertama untuk
menjadi orang pertama di Republik Indonesia.
Ketika
kembali ke pangkuan keluarga, Hasan sudah berusia 55 tahun. Usia yang udzur
untuk memulai babak kehidupan baru. Yang ia lakukan kemudian adalah membantu
istrinya setiap malam membuat kue ale-ale untuk dijual di pasar.
Begitulah
kisah Hasan, seorang Muslim yang kebetulan berada di jalur kiri, dan menjadi
korban politik. Kisah Hasan kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari
sejarah bangsa Indonesia. Tetapi, kiranya cukup sekali saja, dan tak perlu
kekejaman seperti ini terulang lagi.
Dari cerita
dalam buku ini tersirat jelas bahwa dalam hal politik, mujur atau malang itu
barang biasa. Politik itu perjuangan untuk banyak orang, bukan untuk diri
sendiri saja. Maka kalau perjuangannya berhasil, haruslah masyarakat ikut
merasakan hasilnya; dan kalau terpaksa gagal dan menderita, tak usah disesali,
sebab itu semua "demi kepentingan orang banyak". (Miftahuddin,
mahasiswa Sosiologi Pascasarjana Universitas Indonesia ).
Posting Komentar